Search Reynold Sumayku • Tulisan dan Catatan Kerja
Reynold Sumayku • Tulisan dan Catatan Kerja

Situs untuk tulisan-tulisan yang dibuat dalam rangka kerja, atau yang dimuat di media.

Back

Berwisata Prihatin ke Baluran

April 22, 2004

Anda senang jalan-jalan di alam terbuka yang indah, hobi fotografi alam dan satwa liar, serta punya sedikit saja jiwa petualang? Kalau ya, ada baiknya Anda mempertimbangkan Taman Nasional (TN) Baluran sebagai tempat pelesir mendatang.

Berwisata Prihatin ke Baluran • Reynold Sumayku • Tulisan dan Catatan Kerja

”Afrikanya Jawa”, begitu yang kerap digambarkan orang untuk taman nasional yang letaknya di Kabupaten Situbondo (Jawa Timur). Begitu menginjakkan kaki di sana, bayangan tentang Afrika memang merasuki benak penulis. Savana terbentang luas, pemandangannya indah. Menyegarkan mata dan hati.

Harian Sinar Harapan, Kamis, 22 April 2004 (cetak). Versi daring (tautan tidak lagi berfungsi). Teks dan foto oleh Reynold Sumayku.

Untuk mencapai taman nasional ini jauh dari kata sulit. Letak pintu masuknya persis di tepi jalan raya Situbondo-Banyuwangi. Jika Anda bepergian dari Surabaya menuju Banyuwangi atau sebaliknya, lewat jalur utara, pasti akan melewati gerbang utama. Persisnya di Watangan, Wonorejo.

Untuk pengunjung, fasilitas menginap tersedia di Bekol atau Bama. Mau mendapatkan suasana pantai? Teruskan perjalanan ke Bama. Namun, jika pemandangan savana yang diincar, Bekol paling ideal karena lebih dekat.

Savana memang ciri utama TN Baluran. Padang rumput yang di kala musim panas selalu dikunjungi satwa liar itu luasnya sekitar 40 persen dari total luas taman nasional yang mencapai 25.000 hektar. Sedangkan musim kemarau antara Juni-Oktober dianggap waktu paling pas untuk mengunjungi Baluran.

Di masa-masa itulah ada kemungkinan paling besar untuk melihat banteng, kerbau liar, atau rusa berkeliaran di savana. Mereka biasanya memamah rumput dan mendatangi bak penampungan air, yang dibangun di salah satu titik. Tiga jenis satwa tersebut merupakan spesies penting di Baluran. Selain itu juga ada bermacam spesies menarik lainnya seperti kijang, ajag (anjing hutan), ayam hutan, kera, babi hutan, atau biawak di sekitar pantai.

Merak menjadi primadona dari jenis-jenis burung. Juga terdapat jenis burung lain seperti rangkong, raja udang, kangkareng, elang hitam, atau perkutut. Sungguh obyek menarik. Apakah diamati dengan mata telanjang atau direkam dengan lensa kamera. ”Di musim hujan begini, peluang melihat satwa liar lebih kecil,” jelas Hendri Reskiyono, jagawana yang bertugas di pintu masuk taman nasional.

Berwisata Prihatin ke Baluran • Reynold Sumayku • Tulisan dan Catatan Kerja
Pantai Bama.

Hendri yang bertugas sejak tahun 1969 agaknya benar. Banteng dan kerbau liar tak kelihatan batang hidungnya selama dua hari penulis di sana. Meski begitu, satwa liar seperti burung merak, ayam hutan, aneka jenis burung, dan ajag dapat dilihat.

Ajag yang nama latinnya Cuon alpinus merupakan satwa predator yang dilindungi dan pupulasinya meningkat. Secara fisik mirip anjing biasa, namun warna kulitnya coklat kemerah-merahan. Mereka memburu mangsa, biasanya rusa, secara berkelompok.

”Kalau jumlahnya sekitar 20-an, ajag mengerubuti rusa. Kalau jumlahnya mencapai 50-an, mereka berani mengeroyok kerbau liar atau banteng untuk dijadikan santap sore,” kata Imam, jagawana yang tengah menjalani tahun kedelapannya bertugas di Bekol. Imam menegaskan, satwa liar tidak berbahaya bagi manusia selama ada pemahaman terhadap polah dan perilaku mereka.

”Kemungkinan bahaya muncul jika kita berpapasan dengan satwa liar yang sendirian, padahal dia dikenal suka hidup berkelompok,” jelasnya. ”Dalam kelompok banteng atau kerbau liar, selalu ada pemimpin yang terpaksa menyendiri karena menua dan kalah bertarung dari pemimpin baru. Nah, yang tersingkir itu mungkin berbahaya. Meski catatan soal ini kecil sekali, sebaiknya berhati-hati jika bertemu. Apalagi kalau matanya merah dan ada luka di tubuhnya.”

Pemburu Tak Kapok

Di masa mendatang bukan mustahil satwa-satwa yang menarik itu tak hanya lebih sulit dilihat saat musim hujan. Tapi, juga sulit ditemukan saat musim kemarau. Populasi mereka terus menurun, lantaran ulah pemburu liar yang bukan ajag melainkan manusia. Meski satwa-satwa itu dilindungi hukum, di antaranya melalui PP No. 7 tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, para pemburu tak takut.

”Mereka lebih takut pada kemiskinan atau rasa lapar daripada takut hukum,” ujar Imam bersungut. ”Ekonomi penduduk sekitar kawasan kurang baik. Memburu satwa liar lantas menjualnya di pasar gelap adalah jalan pintas demi penghasilan lumayan.”

Untuk banteng, yang diambil pemburu adalah dagingnya. Padahal, harga daging banteng di pasaran lebih murah dibanding sapi biasa. ”Seekor banteng paling-paling dagingnya dua kuintal. Yang saya dengar, satu kilogramnya dihargai Rp 4.000,” bilangnya.

Menurutnya, jumlah banteng liar kini antara 20-50 ekor. ”Untuk menghitung banteng sebenarnya tak terlalu susah karena mereka berkelompok. Ada dua cara sederhana. Pertama, memperkirakan jumlah dari jejak. Kedua, di antara kami – biasanya berdua – nongkrong di atas pohon yang tinggi, dekat sumber air tertentu pada musim kemarau,” jelasnya.

Pekerjaan semacam itu butuh kesabaran dan ketabahan. Juga pengetahuan khusus mengenai perilaku satwa yang ”diincar”. Mengintai sambil bersembunyi di atas pohon boleh jadi makan waktu semalaman atau seharian.

Kalau sampai ada jagawana yang mangkel terhadap ulah para pemburu liar tentu bisa dimaklumi. Para polisi hutan itu bertugas relatif 24 jam sehari dan kadangkala menempuh bahaya. Terutama ketika berhadapan dengan para pemburu yang tak segan-segan berlaku telengas. Imam sendiri mengaku pernah ditembaki oleh pemburu liar, untungnya luput.

”Terus terang saya kecewa jika para pemburu itu hanya dihukum ringan,” katanya. ”Hukuman buat pemburu liar seharusnya maksimal 10 tahun atau denda 100 juta rupiah. Kalau tidak sengaja membunuh satwa yang dilindungi, hukuman bisa berkurang setengah. Tapi, di pengadilan, mereka cuma divonis tiga bulan sehingga tak kapok.”

Para pemburu liar selalu bekerja dalam kelompok terdiri dari 6-8 orang. Minimal, mereka membawa dua senjata api. Orang-orang tak bertanggung jawab itu seringkali hanya membawa daging banteng sementara kepalanya ditinggal di tempat.

Jagawana yang bertugas di lapangan jumlahnya lebih dari 50-an orang. Meski begitu, karena dipisah ke dalam beberapa regu untuk yang luas, terkadang rasanya kekurangan jumlah. Apalagi, hanya ada satu pucuk senjata api di setiap kelompok.

Proyek Bumerang
Karena merupakan perpaduan antara hutan dan savana, Baluran rentan kebakaran di musim kemarau. Sedikit saja percikan api jatuh di tengah dedaunan atau rumput kering, api gampang membesar dan menjalar.

Begitu seringnya terjadi kebakaran lahan, sampai-sampai dulu didatangkan sejenis tumbuhan yang berguna sebagai penyekat api, dari Afrika. Namanya Acacia nilotica. Batang dan rantingnya kecil dan berduri, sementara daunnya kecil-kecil mirip tanaman ”putri malu”. Tingginya minimal satu meter.

Berwisata Prihatin ke Baluran • Reynold Sumayku • Tulisan dan Catatan Kerja
Acacia nilotica.

Acacia nilotica ditanam di sekitar Bekol, untuk memagari savana dari ancaman kebakaran. Sayang, efek buruk yang dibawa tanaman ini sulit dikendalikan. Dia bersifat merusak, bisa membunuh rumput di sekitarnya. Celakanya lagi, Acacia nilotica gampang menyebar sehingga mengancam keberadaan savana Bekol.

Tak pelak, proyek pun berganti. Dari yang tadinya mendatangkan tanaman tersebut beralih menjadi upaya untuk membasminya. Itu pun jauh dari kata gampang. Berkali-kali pembasmian dilakukan namun hasilnya belum maksimal. Akar tanaman ini mampu survive di dalam tanah sampai 8 tahun lantas tumbuh lagi. Tak cukup dibakar, tapi harus dicabut sampai ke akar-akarnya.

Januari lalu ketika penulis berkunjung ke sana, sisa-sisa pembakaran dan pencabutan akar masih terlihat baru. Tapi, di semua sisi savana masih terlihat betapa rimbunnya Acacia nilotica sehingga terlihat mirip hutan homogen. Baluran memang kerap disebut ”Afrikanya Jawa”. Tapi, Acacia nilotica yang bertabiat buruk itu tentu bukan bagian. Diharapkan, musim kemarau tahun ini kondisi savana sudah mulai jadi seperti dulu.

”Semoga begitu. Karena, jumlah kunjungan di sini hampir selalu meningkat saat musim panas. Para pengunjung datang ke sini umumnya karena ingin melihat gerombolan satwa merumput di savana,” jelas Atim Amrullah, petugas yang biasa mengurusi akomodasi pengunjung.

Kondisi ideal seperti dulu kemungkinan sulit ditemui. Meski begitu, peluang untuk melihat polah satwa tetap terbuka. Selain banteng, kerbau liar diperkirakan masih cukup banyak berkeliaran di Baluran.

Sikap pengunjung juga menentukan seberapa besar peluang untuk bisa melihat satwa. Memotret tentu lebih baik irit bersuara. Apalagi bila melakukan penelitian. Tapi, wisata sambil berisik atau berteriak-teriak, misalnya, kurang ideal di kawasan taman nasional.

Bagaimanapun, apabila berwisata ke taman nasional seperti Baluran lebih baik kita sedikit membantu upaya-upaya konservasi. Biar anak cucu nanti masih bisa melihat sendiri apa yang namanya banteng, rusa, atau burung merak.

Nah, kalau setuju, mari ke tempat indah ini.


Satu Petugas untuk 300 Hektare

(Untuk boks pendukung/sidebar; Naskah di bagian ini tidak diterbitkan)

Baluran adalah salah satu dari empat taman nasional di Jawa Timur selain Merubetiri, Alas Purwo, dan Bromo-Tengger-Semeru. Secara geografis, TN Baluran terletak di kabupaten Situbondo. Akan tetapi, kantor pusat taman nasional ini berada di wilayah kabupaten tetangga, Banyuwangi. Penetapannya sebagai sebuah taman nasional dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984.

Ihwal terciptanya Baluran sebagai taman nasional sebenarnya sudah dimulai jauh ke tahun 1928. Adalah seorang Belanda, AH Loedeboer, yang mengusulkan kepada Kebun Raya Bogor (pusat upaya konservasi masa itu) agar Baluran dijadikan suaka margasatwa. Saat itu, Baluran terkenal sebagai sebuah surga perburuan satwa dan uniknya usulan itu datang dari Loedeboer yang konon juga seorang pemburu.

Lantas, di tahun 1937 jadilah Baluran sebagai suaka margasatwa. Pemerintah Hindia Belanda waktu itu menegaskannya melalui Surat Keputusan Nomor 9 tahun 1937 (Lembaran Negara No. 544 tahun 1937). Maksudnya tentu baik, melindungi berbagai jenis satwa dari ancaman kepunahan.

Yang terjadi kemudian, sampai 60 tahun kemudian, upaya konservasi satwa di Baluran mendapat banyak tantangan. Perburuan liar masih terjadi. Perilaku pengunjung pun sulit dikontrol.

Di satu sisi, tanpa kehadiran pengunjung umum, pemasukan taman nasional ini akan menurun. Di sisi lain, lebih sering terjadi justru pengunjung yang datang kurang memiliki wawasan lingkungan yang baik. Termasuk juga kepedulian masyarakat sekitar yang masih terbilang rendah.

Mengandalkan suksesnya upaya konservasi pada kemampuan dan kesigapan petugas dan jagawana semata, tentu kurang realistis. Katakanlah jumlah petugas di Baluran paling banyak 80 orang. Apabila dibagi-bagi untuk mengawasi luas areal taman nasional yang mencapai 25.000 hektare, berarti setiap petugas harus mengawasi lebih dari 300 hektare. Alangkah luar biasa beratnya!

Sebanyak 422 macam tanaman dan 144 jenis satwa di Baluran cepat atau lambat masuk dalam daftar terancam. Sangat dikhawatirkan, Baluran hanya akan menjadi taman kosong tanpa spesies khas-nya.

Semacam seleksi pengunjung, dengan metode tertentu, barangkali mulai perlu dipikirkan. Juga menggencarkan pemahaman tentang pentingnya upaya-upaya konservasi di kawasan kepada pengunjung. Saat ini, setiap orang, asal membayar karcis masuk seharga Rp 2.000 (umum) atau Rp 1.000 (pelajar/mahasiswa) boleh melenggang ke dalam kawasan.—Reynold Sumayku

Pembaruan 18 Juli 2017:
Dalam satu bagian tulisan terdapat kalimat sbb: “Hendri yang bertugas sejak tahun 1969 agaknya benar.” Terjadi kesalahan ketik angka tahun, seharusnya 1989.

Published in freelance

Share on Google+
Google+
Tweet about this on Twitter
Twitter
Share on Facebook
Facebook
Share on LinkedIn
Linkedin
www.reynoldsumayku.com • Published Photography • Photographic Stories
Terms of Use